Kamis, 03 Maret 2011

HARGA DIRI PADA MASYARAKAT YANG TIGGAL DI LINGKUNGAN KUMUH



Gdarma_2

“HARGA DIRI PADA MASYARAKAT YANG TIGGAL DI LINGKUNGAN KUMUH”


DISUSUN OLEH :
1. ALEXANDER ZULFIKAR
10508009
2. DEVI WORO PRAMESTI
10508056
3. MIMI ILMIYATI
10508141







Diajukan untuk melengkapi tugas Psikologi Lingkungan

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Setiap manusia di dunia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bahagia, tinggal di suatu tempat bersama keluarga tercinta, menikmati suasana yang penuh kedamaian, ketentraman dan kekeluargaan. Suasana seperti itulah yang di idam-idamkan setiap orang. Tetapi pada kenyataannya masih banyak keluarga yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Misalnya seperti keluarga yang kurang beruntung karena memiliki rumah yang sebenarnya tidak layak untuk ditempati dengan baik.
            Namun fenomena yang terjadi di Indonesia mengenai masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh adalah masih banyaknya masyarakat yang malu karena mempunyai tempat tinggal yang tidak layak untuk ditempati (lingkungan yang kumuh), bahkan terkadang masih banyak juga masyarakat yang beranggapan kalau tempat yang sedang ditempatinya sekarang ini adalah tempat tinggal yang kotor, kumuh, dan lain sebagainya. Dan biasanya harga diri mereka menjadi negatif, karena mereka merasa tidak layak untuk bersosialisasi dengan yang lainnya, tetapi ada juga yang berfikir positif. Biasanya masyarakat yang berfikir positif akan mencari pekerjaan demi menghidupi keluarganya.
            Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan.
            Adapun menurut Coopersmith (dalam Rombe, 1997) terdapat tiga karakteristik yang dijadikan sebagai taraf dalam harga diri antara lain, karakteristik individu dengan harga diri yang rendah, biasanya seseorang yang mempunyai harga diri yang rendah mempunyai rasa takut yang tinggi dan mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial, seseorang itu juga terlihat seperti orang yang putus asa dan depresi, merasa diasingkan dan tidak diperhatikan, tidak kosisten, kurang dapat mengekspresikan diri, sangta bergantung pada lingkungkan dan selain itu seseorang tersebut secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di lingkunganya.
            Karakteristik yang kedua adalah karakteristik individu dengan harga diri sedang. Karakteristuik yang kedua ini hampir sama dengan karakteristik individu yang mempunyai harga diri tinggi terutama dalam kualitas perilaku dan sikap pernyataan diri memang positif, namun cenderung kurang moderat menurut Coopersmith (dalam Rombee,1997). Individu dengan harga diri sedang cemnderung memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang.
            Karakteristik yang ketiga adalah karakteristik individu dengan harga diri tinggi. Dimana seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi, memiliki sifat yang aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, berhasil dalam bidang akademik terlebih dalam mengadakan hubungan sosia, dapat menarik kritik dengan baik, percaya pada persepsi dan dirinya sendiri, tidak terpaku pada dirinya atau hanya memikitrkan kesulitanya sendiri, dan seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi akan  memperoleh keyakinan pada dirinya tidak berdasarkan kepada fantasi karena memang seseorang tersebut mempunyai kemampuan, kecakapan sosial dan kualitas diri yang tinggi.
            (Brenden, 2001) membedakan individu yang mempunyai harga diri yang kokoh berarti individu merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu mempunyai kopentensi dan sanggup mangatasi masalah-masalah kehidupan. Individu yang mempunyai harga diri yang rapuh berarti merasa tidak cocok dengan kehidupan, merasa bersalah, buakn terhadap masalah-masalahs kehidupan atau lainnya, tetapi  merasa bersalah terhadap dirinya sendiri. Dan individu yang mempunyai harga diri rata-rata berarti kondisi naik turun antara perasaan cocok dan tidak cocok, kadang nerasa benar dan kadang merasa bersalah sebagi pribadi, dan mewujudkan berbagai ketidakkonsistenan ini dalam tingkah laku.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di lingkungan yang kumuh memiliki penilaian negatif  terhadap harga dirinya sendiri. Maka pada hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana harga diri pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh.

B.     Tujuan Penelitian

            Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai gambaran harga diri pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh.

C.    Manfaat Penelitian

            Penelitian ini diharapkan memperoleh 2 manfaat, yaitu :
1.      Manfaat Teoritis
      Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan berbagai kontribusi dan menambah pengetahuan penelitian dalam bidang psikologi lingkungan khususnya mengenai harga diri pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh, serta dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan harga diri.
2.      Manfaat Praktis
Manfaat Penelitian ini adalah memberikan informasi yang dapat berguna serta  bermanfaat pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh dan memberi masukan serta pemahaman kepada masyarakat mengenai harga diri pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh. Manfaat penelitian ini juga berguna bagi peneliti, diharapkan dapat menambah informasi yang bermanfaat dalam penulisan ilmiah.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Harga Diri

1.   Pengertian Harga Diri

              Penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri ini disebut harga diri (self esteem) (Deaux, Dane, & Wrightsman, 1992). Harga diri menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri. Baik positif atau negatif (Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
               Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Dapat diartikan bahwa harga diri menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memeiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.
Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa : “Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan”. Secara singkat, harga diri adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya”.
Harga diri adalah pandangan keseluruhan dari individu tenang dirinya sendiri. Penghargaan diri juga kadang dinamakan martabat diri atau gambaran diri. Misalnya, anak dengan penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang, tetapi juga sebagai seseorang yang baik. ( Santrock, 2010)
Coopersmith (dalam Goble, 1993) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian diri yang dilakukan seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga.
Menurut pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap kehormatan diri, melalui sikap terhadap dirinya sendiri yang menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilai dirinya.

2.   Karakteristik Harga Diri

              Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa karakteristik, yaitu :
(a) harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum;
(b) harga diri bervariasi dalam berbagai pengalaman; dan
(c)  evaluasi diri.
              Individu yang memiliki harga diri tinggi menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya, percaya diri, puas dengan karakter dan kemampuan diri dan individu yang memiliki harga diri rendah, akan menunjukkan perhargaan buruk terhadap dirinya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Stuart dan Sundeen,1991 dan Keliat, 1995).

3.   Komponen – komponen Harga Diri

              Felker (dalam Churaisin, 2004) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari:
a.Perasaan diterima (Felling Of Belonging)
                 Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negative tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu.
b.Perasaan Mampu (Felling Of Competence )
              Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.
c.Perasaan Berharga ( Felling Of Worth )
              Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain sebagainya.
              Berdasarkan penjelasan di atas, komponen – komponen harga diri terdiri dari perasaan diterima, dimana individu merasa ingin diterima oleh kelompoknya. Selanjutnya ada pula perasaan mampu, yaitu keyakinan akan kemampuan diri sendiri. Dan yang terakhir adalah perasaan berharga, di mana individu merasa dirinya berharga atau tidak.

4.            Faktor – faktor yang Menyebabkan Harga Diri

     Faktor-faktor yang menyebabkan harga diri yaitu :
(a)    pengalaman;
Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu. (Yusuf, 2000).
(b)   pola asuh;
Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya yang meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochih, 1998).
(c)    lingkungan;
Lingkungan memberikan dampak besar kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orangtua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya (Yusuf, 2000).
(d)   sosial ekonomi (Coopersmith, dalam Burn, 1998).
Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari - hari (Ali dan Asrori, 2004).
               Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa pengalaman, pola asuh, lingkungan dan sosial ekonomi menjadi faktor – faktor yang menyebabkan harga diri seseorang, bisa tinggi ataupun rendah.

B.     Lingkungan Kumuh

1.      Pengertian dan Karakteristik Permukiman Kumuh

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan penghidupan.
Sedangkan kata “kumuh” menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai kotor atau cemar. Menurut Johan Silas Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh. Yang menjadi penyebabnya adalah mobilitas sosial ekonomi yang stagnan.
Karakteristik Permukiman Kumuh : (Menurut Johan Silas)
a.       Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
b.      Permukiman ini secara fisik memberi
c.        Manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana, termasuk masyarakat “residu” seperti residivis, WTS dan lain-lain.
Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
a.       Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang perlu dibenahi.
b.      Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun terbatas, namun masih dapat ditingkatkan.
c.       Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata pencaharian tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan rendah.
d.      Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang paling bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan pemerintah, kecuali dibuka peluang untuk mendorong mobilitas tersebut.
e.       Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan program pembangunan kota pada umumnya.
f.       Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang satu, tetapi tidak semua begitu saja dapat dianggap permanen.
Kriteria Khusus Permukiman Kumuh:
a.       Berada di lokasi tidak legal
b.      Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat rendah (miskin)
c.       Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota
d.      Tidak diingini kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
e.       Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal), ada sistem angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum walau tidak selalu murah.

2.      Sebab dan Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh

a.       Sebab Terbentuknya Permukiman Kumuh
Dalam perkembangan suatu kota, sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu, cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Kelompok masyarakat inilah yang karena tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong mereka serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha, menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan.
Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.
b.      Proses Terbentuknya Permukiman Kumuh  dimulai dengan dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan oleh orang lain. Pada proses pembangunan oleh sektor non-formal tersebut mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan kesehatan.

3. Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat. Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Sri Soewasti Susanto, 1974)
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah:
a.       ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni
b.      rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran.
3.      Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh

Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
a.       Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
b.       Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.



C.    Masyarakat

1.      Pengertian
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
a.       Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b.       Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c.        Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d.      Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

2.      Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
a.       Berangotakan minimal dua orang.
b.      Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
c.       Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
d.       Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

3.       Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat :
a.        Ada sistem tindakan utama.
b.      Saling setia pada sistem tindakan utama.
c.        Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d.       Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.








BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Metode yang Dipakai

1.         Pengertian Penelitian Kualitatif

Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan pendekatan penelitian studi kasus, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu pengertian penelitian kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan social, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan postivismenya.
Peneliti mengintepretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar atau setting yang alamiah (naturalistik), bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan. Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) sebagai suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang diamati.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif  ialah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan social, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan postivismenya dan metode kualitatif juga suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang diamati.


2.         Ciri-ciri Penelitian Kualitatif

Pandangan Cresswell, Denzin dan Licoln, serta pandangan Guba dan Licoln, ditemukan ciri-ciri dari penelitian kualitatif, antara lain sebagai berikut :
a.     Penelitian dengan kontes dan setting apa adanya atau alamiah.
b.   Bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan seseorang dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagimana makna tesebut mempengaruhi perilaku mereka.
c.     Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman mendalam bagaimana subjek memaknai realitas dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek
d.   Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data tidak terbatas pada observasi dan wawancara, tetapi juga dokumen, riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, dan lain-lain.
e.    Penelitian kualitatif menggali nilai yang terkadang dari suatu perilaku.
f.     Bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian.
g.    Akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam konteks dan setting yang alamiah (naturalistik).

3.         Asumsi-asumsi Penelitian Kualitatif

Asumsi-asumsi penelitian kualitatif menurut sebagai berikut :
a.       Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek yang diteliti) dalam suatu studi.
b.      Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti.
c.       Tidak bebas nilai dan bias.
d.      Informal, keputusan-keputusan mengalami perkembangan, menggunakan kata-kata yang personal, menggunakan kata-kata yang diterima kualitatif.
e.       Faktor-faktor dibentuk (diidentifikasi) bersamaan secara timbal balik yang dinamis.

4.         Pengertian Studi Kasus

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus, maka yang dimaksud dengan pendekatan penelitian studi kasus adalah suatu bentuk penelitian (inaviry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity) dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Kasus ini dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas atau bahkan suatu bangsa (Poerwandari, 2001).
Menurut Moleong (2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami yang khas dan dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa studi kasus ialah suatu bentuk penelitian (inaviry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity) dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas atau suatu penelitian yang berusaha memahami yang khas dan dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penetian yang lalu, kasus ini dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa.



5.          Ciri-ciri Studi Kasus

Ciri-ciri penelitian studi kasus menurut Heru Basuki (2006) sebagai berikut :
a.       Studi kasus bukan suatu metodelogi penelitan, tetapi suatu bentuk studi tentang masalah yang khusus (particular).
b.      Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditunjukan perorangan atau individual) atau suatu kelompok.
c.       Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau kompleks.
d.      Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tetntang suatu kasus.
e.       Studi kasus tidak bertujuan untuk melakuka generalisasi.

6.         Tiga Macam Tipe Studi Kasus

Tiga macam tipe studi kasus menurut Yin (1981) sebagai berikut :
a.    Studi Kasus Instrinsik.
Dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus tertentu. Jadi, studi terhadap kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara instrinsik mengenai fenomena, keteraturan dan kekhususan dari suatu kasus, bukan alasan eksternal lainnya.
Apabila kasus yang dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari yang berasal dari kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat instrinsik (intrinsic interest).
b.    Studi Kasus Instrumental (Instrumental Case Study)
Merupakan studi terhadap kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin mengetahui tentang hakekat kasus tersebut. Kasus banyak dijadikan sebuah instrument untuk memahami hal lain di luar kasus, contoh dalam membuktikan sebuah teori yang sebelumnya sudah ada.
Apabila kasus yang dipelajari secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan teori baru. Hal ini dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada diluar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c.    Studi Kasus Kolektif (Conective Case Study)
Dilakukan untuk menarik kesimpulan atau generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari kasus tersebut. Apabila kasus yang dipelajari secara mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing kasus individual dalam kelompok itu dipelajari dengan maksud untuk menyatakan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang bervariasi.

7.         Kelebihan Studi Kasus

Dibawah ini terdapat beberapa kelebihan studi kasus, diantaranya sebagai berikut :
a.       Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik, dan hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus juga mampu mengungkap makna dibalik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b.      Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktum, tetapi juga memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kualitatif yang sangat ketat.

8.         Kelemahan Studi Kasus

Dari kacamata penelitian kualitatif, studi kasus di persoalkan dari segi validitas dan reliability dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang bertujuan untuk mencari generalisasi.

B.     Subjek Penelitian

1.        Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah :
a.       Harga diri pada masyarakat yang tinggal di lingkungan yang kumuh.
b.      Berdomisili di daerah wialayah Jakarta. Kriteria ini untuk memudahkan peneliti dalam mengambil data yang diperlukan.

2.        Jumlah Subjek

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) tidak ada aturan pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh penliti, tujuan penelitian, konteks saat ini apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.
Sedangkan menurut Poerwandari (2001) fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses, maka penelitan kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah sampel sedikit. Berdasarkan pendapat diatas maka dalam penelitian ini jumlah subjek adalah masyarakat dan significant other satu orang.

C.    Persiapan Penelitian

Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, sebelum digunakan dalam wawancara akan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan yang lebih ahli yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing, peneliti melihat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Karena peneliti telah mendapatkan subjek, selanjutnya peneliti membuat kesepakatan dengan subjek dan mengatur waktu serta tempat pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang telah dibuat. Peneliti juga perlu mempersiapkan tape recorder yang akan digunakan untuk merekam jalannya wawancara agar semua informasi akurat tidak ada yang terlupakan.

D.    Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi.
1.        Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keteranagn untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden dengan menggunakan alat (Nasir, 1998).
Sedangkan menurut Poerwandari (1998) adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan wawancara pada tiga pendekatan dasar, yaitu :
a.       Wawancara mendalam (indepth interviewing)
Proses wawancara didasar sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipatif.
b.      Wawancara mendalam (indepth interviewing)
Dalam proses wawancara ini, peneliti di lengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus di liput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingat peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftra pengecek (checklist).
c.       Wawancara dengan pedoman terstandaar yang terbuka
Pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum.
Sugiyono (1999) menyatakan bahwa ada dua jenis wawancara, yaitu :
a.       Wawancara berstruktur
Dalam wawancara berstruktur, pertanyaan dan alternative jawaban yang diberikan kepada subjek telah ditetapkan terlebih dahulu oleh interviewer.
b.      Wawancara tidak berstruktur
Wawancara tidak berstruktur lebh bersifat informal. Pertanyaan tentang pandangan, sikap, keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada interviewer. Wawancara jenis ini lebih tampak luas dan biasanya direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada waktu wawancara dilakukan. Selain itu subjek diberikan kebebasan menguraikan jawabannya serta mengungkapkan pandangannya sesuka hati.
Penelitian ini menggunakan wawancara tak berstruktur untuk mengungkapkan secara lantang tentang pandangan, sikap, keyakinan subjek dan kemungkinan keterangan lain dan agar sesuai dengan suasana pada saat pelaksanaan wawancara.
2.         Observasi
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) salah satu hak yang penting tetapi sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang yang tidak terjadi.
Hasil observasi menjadi data yang penting karena :
a.       Peneliti akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks yang akan diteliti.
b.      Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mmpertahankan pilihan untuk mendekatai masalah secara induktif. Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi tentang topik yang diamati akan berkurang.
c.       Mengingat individu yang telah sepenuhnya terlibat dalam konteks hidupnya sering mengalami kesulitan merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamnnya, observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari.
d.      Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara.
e.       Jawaban terhadap pertanyaan akan diwarnai oleh perspektif selektif individu yang diwawancara. Berbeda dengan wawancara, observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi selektif yang ditampilkan subjek penelitian atau pihak-pihak lain.
f.       Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukannya. Impresi dan perasaaan pengamat akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkannya untuk memahami fenomena yang diteliti.
Menurut Moleong (2005), berdasarkan keterlibatan pengamat dalam kegiatan orang-orang yang diamati, observasi dapat dibedakan menjadi :
a.       Observasi partisipan
Pengamatan berperan serta melakukan duaperan sekaligus yaitu sebagai dan sekaligus menjadi anggoa resmi dari kelompok yang diamatinya.
b.      Observasi non partisipan
Pengamat tidak berperan serta hanya melakukan fungsi yaitu mengadakan pengamatan.
Dalam pengamatan ini peneliti menggunakan bentuk observasi non partisipan dimana peneliti hanya mengamati tingkah laku subjek tanpa ikut aktif dalam kegiatan subjek, karena peneliti hanaya sebagai pengamat.

E.     Alat Pengumpulan Data

Menurut (Poerwandari,2001) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian mulai dari memilih topik, mndekati topic, megumpulkan data, analisis, interpretasi dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga instrument sebagai alat bantu untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, yaitu :
1.         Pedoman Wawancara
Pedoman ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Pedoman ini berisi hal-hal pokok yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, yaitu dimensi peran orang tua sekaligus menjadi daftar untuk memeriksa apakah aspek-aspek relevan itu tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001).
2.         Pedoman Observasi
Pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam bentuk catatan lapangan yang berisi deskripsi tentang hal-hal yang diamati, apapun yang dianggap oleh peneliti penting.
3.         Alat Perekam
Alat bantu ini digunakan untuk merekam pertanyaan dan jawaban yang diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini digunakan setelah mendapat ijin dari subjek.
4.         Pedoman Wawancara
Pulpen dan buku tulis atau notes digunakan untuk mengobservasi tingkah laku subjek dan mencatat hal-hal yang penting saat wawancara dan obsevasi berlangsung.

F.     Keakuratan Penelitian

Diperlukan untuk mengetahui apakah keakuratan penelitian harus menggunakan cara triangulasi. Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data yang diperoleh untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh.
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan kendalan (realibilitas). Keabsahan atau kredibilitas mempunyai fungsi melaksanakan inquiry sedimikian rupa, sehingga tingkat penemuannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
Patton (dalam Poerwandari, 1998) membedakan empat macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu :
1.      Triangulasi Data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau dapat juga melalui proses wawancara dengan lebih satu orang subjek dan seseorang significant others (SO) yang diamggap memiliki sudut pandang yang berbeda.
2.      Triangulasi Pengamat
Terdapat pengamat lain diluar penelitian yang turut memeriksa pengumpulan data. Dalam penelitian ini dosen pembimbing sebagai pengamat yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti.
3.      Triangulasi Teori
Penggunaan teori yang berbeda-beda dapat memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat dan terdapat pendapat bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
4.      Triangulasi Metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti permasalahan. Seperti metode wawancara dan metode observasi.

G.    Teknik Analisis Data

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berapa narasi, deskripsi cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis.
Dalam penelitian ini terdapat pedoman dan ide yang disampaikan peneliti dalan mengaktualisasi data penelitian kualitatif. Peneliti wajib melaporkan proses dan prosedur-prosedur analisisnya sejujur dan selengkap mungkin.
Menurut Strauss dan Corbin (2003), menjelaskan analisis dalam studi kasus terdiri dari tiga jenis pengkodean utama, yaitu :
1.      Pengkodean Terbuka (Open Coding).
Merupakan proses menguraikan, memeriksa, membandingkan, mengkonsepsikan dan mengkategorikan data, yang terdiri dari beberapa prosedur, antara lain :
a.       Pelabelan Fnomena.
b.      Penemuan dan Penamaan Kategori.
c.       Penyusunan Kategori.
2.      Pengkodean Berporos (Axial Coding).
3.      Pengkodean Berpilih (Selective Coding).





















DAFTAR PUSTAKA


Branden, N. 2001. Kiat Jitu Meningkatkan Harga Diri. Jakarta : Pustaka Delapratasa.
Coopersmith, S. 1967. The Antecedents of Self Esteem. San fransisco : W.H. Freeman.Company.
Felker. 1974. The Development of Self Esteem. New York : William Marrow An Company Inc.
Luchita, Poupout.Masalah pemukiman Kumuh Dan Usaha Untuk Mengatasinya. (Artikel). http://pou-pout.blogspot.com/2010/03/makalah-permukiman-kumuh-dan-upaya.html. Diakses tanggal .28 Februari 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar