Selasa, 01 Maret 2011

DAMPAK KEPADATAN PENDUDUK



A. Definisi Kepadatan
Kepadatan adalah hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.
Adapun definisi kepadatan menurut beberapa ahli :
·         Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
·         Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
·         Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
B. Kategori Kepadatan
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori.
·         Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :
1.      kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
2.      kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
·         Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1.      kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
2.      kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
·         Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. sehingga suatu ewilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi dan kepadatan rendah.
C. Akibat Kepadatan Tinggi
Taylor (dalam Guilfford,1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).
Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan Mc Farling,1978), menunjukan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi social. Mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk. (dalam Sears dkk., 1994) mecoba membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar (kamar dirancang untuk dua orang). Ternyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporakan adanya stress dan kekecewaan, yang secara nyata lebih besar daripada mahasiswa yang tinggal berdua. selain itu mereka yang tinggal bertiga juga lebih rendah prestasi belajarnya.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut padea akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan menurut Stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darh dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti    meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
·         Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
·         Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
·         Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 1984).
·         Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
·         Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan, 1982).
Menurut Jain (1987) banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak.

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatn 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, tenyata angka kejahatan/kriminal di sana masih lebih rendah.

E. KASUS
DAMPAK KEPADATAN PENDUDUK

okorda Yudistira
KOMPAS.com - Hari Selasa, 10 Maret lalu, Kota Bekasi genap berusia 12 tahun. Jikalau diibaratkan dengan manusia, Kota Bekasi berada pada masa praremaja, alias anak baru gede (ABG). Namun, Kota Bekasi sudah menghadapi beragam persoalan seperti kota besar. Salah satunya adalah persoalan pertumbuhan penduduk.
Hal itu adalah konsekuensi, yang ditanggung Kota Bekasi (dan Kabupaten Bekasi), sejak Bekasi dikembangkan menjadi penyangga Jakarta berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976.
Inpres tersebut menempatkan Bekasi sebagai kota satelit Jakarta dan menjadi bagian kawasan pengembangan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek). Dengan kehadiran pabrik dan kawasan industri, Kota Bekasi berkembang sebagai kota berpenduduk padat.
”Ketika baru dikembangkan sebagai kota mulai tahun 1996, penduduk Kota Bekasi saat itu baru sekitar 750.000 jiwa,” kata Sekretaris Daerah Kota Bekasi Tjandra Utama Effendi, Jumat (6/3). ”Saat ini penduduk Kota Bekasi mencapai 2,2 juta jiwa dan sebagian besar ada penduduk komuter yang pada siang hari bekerja di Jakarta,” ujarnya.
Masalah kota
Laju pertambahan penduduk Kota Bekasi, menurut Sensus Penduduk 2000, mencapai 3,49 persen. Pertambahan penduduk Kota Bekasi lebih besar disebabkan migrasi. Penyebab tingginya migrasi tidak lain adalah berkembangnya Kota Bekasi menjadi pusat ekonomi dan pusat bisnis.
”Ini disebabkan letak Kota Bekasi yang berada di jalur ekonomi yang dinamis, yakni antara Jakarta dan Jawa Barat,” kata pengamat dari Universitas Islam 45 Bekasi, Harun Al Rasyid. ”Kota Bekasi berkembang pesat karena terimbas perkembangan Jakarta yang sudah mencapai titik jenuh,” ujar Harun.
Di pihak lain, tingginya laju pertambahan penduduk Kota Bekasi menimbulkan beragam persoalan bagi Kota Bekasi. Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, sampai transportasi, pendidikan dan kesehatan, serta interaksi sosial masyarakat.
Sampai akhir 2007, jumlah keluarga prasejahtera di Kota Bekasi tercatat sebanyak 20.448 keluarga, atau bertambah 1.700 keluarga dibandingkan dengan tahun 2006.
Begitu pula persoalan pengangguran. Hingga tahun 2006 masih terdapat 187.944 orang di Kota Bekasi yang menganggur dan sebanyak 43.742 orang lainnya sedang mencari kerja.
Persoalan juga tampak pada maraknya kasus kriminalitas di wilayah Kota Bekasi. Sosiolog dari Universitas Islam 45 Bekasi, Andi Sopandi, mengatakan, Kota Bekasi mendapat sorotan kurang menguntungkan akibat tingginya kasus kejahatan yang terjadi di wilayah ini. ”Terutama kasus narkotika,” kata Andi. ”Hampir 90 persen penghuni LP Bekasi akibat kasus narkotika,” ujarnya.
Dari catatan Kompas, sampai Oktober 2008 terdapat 3.213 kasus kriminalitas, termasuk kecelakaan dan pengaduan masyarakat, yang ditangani jajaran Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi. Padahal, selama 2007, jumlah kasus kriminalitas yang ditangani Polres Metro Bekasi ”hanya” sebanyak 3.183 kasus.
Problem lain adalah penyediaan sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah Kota Bekasi hingga sekarang masih berkutat dengan persoalan jalan berlubang atau jalan rusak. Kerusakan di ruas Jalan Pekayon-Jatiasih-Pondok Gede sudah bertahun-tahun belum tuntas ditangani.
Hal lain yang juga menjadi persoalan kota adalah penggunaan lahan. Dari sekitar 21.409 hektar luas wilayah Kota Bekasi, sebanyak 62 persennya sudah dibangun menjadi kawasan niaga dan kawasan permukiman. Sementara lahan yang tersisa sebagai ruang terbuka hijau hanya sekitar 14 persen.
”Kebijakan tata ruang kota tidak mendukung perkembangan kapasitas masyarakat untuk berperan dalam pembangunan daerah,” kata Andi. ”Lahan lebih banyak dibangun untuk permukiman dan perkantoran serta kawasan niaga, sementara ruang publik untuk tempat masyarakat berinteraksi masih diabaikan keberadaannya,” ujarnya.
Kebijakan
Bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Bekasi ke-12 hari ini, kepemimpinan Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi masing-masing sebagai Wali Kota Bekasi dan Wakil Wali Kota Bekasi persis berjalan satu tahun. Wajar apabila banyak yang berharap pemimpin baru membawa perubahan.
Gebrakan duet Mochtar-Rahmat yang dirasakan dampaknya adalah kebijakan pemberian subsidi di sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan. Kebijakan tersebut merupakan implementasi visi Kota Bekasi terbaru, yakni Kota Bekasi Cerdas, Sehat, dan Ihsan.
Pada awal pemerintahannya, Mochtar menggratiskan biaya pendidikan di sekolah dasar. Mulai 2009, kebijakan pembebasan biaya pendidikan diberlakukan di sekolah menengah pertama. Tahun depan, kebijakan serupa diterapkan di sekolah menengah atas.
Begitu pula dalam urusan pelayanan kesehatan, sejak April 2008 Pemerintah Kota Bekasi menghapus pelayanan kesehatan dasar di semua puskesmas.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi 2009, Pemkot Bekasi mendistribusikan 36,87 persen dari anggaran belanja untuk sektor pendidikan, lebih dari 4,3 persen untuk kesehatan.
Kebijakan penganggaran yang berorientasi pada sektor pendidikan dan kesehatan itu, menurut Tjandra, tidak mengganggu rencana Pemkot untuk terus membangun dan menyiapkan utilitas kota yang memadai. ”Dengan demikian, Kota Bekasi mampu berkembang sebagai mitra sejajar dengan Jakarta, bukan sekadar kota penyangga Ibu Kota (negara),” kata Tjandra.
SUMBER :
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan
·         http://nasional.kompas.com/read/2009/03/16/06484682/masalah.kepadatan.penduduk.menghadang
·         http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf

1 komentar: